Putusan MK yang Mengizinkan Kampanye di Institusi Pendidikan Menuai Kontroversi
Jakarta – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan kampanye politik di tempat-tempat pendidikan menuai kritik dan perdebatan. Sejumlah kalangan, termasuk Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), mengungkapkan keprihatinan atas implikasi politisasi yang dapat terjadi di sekolah dan perguruan tinggi dalam rangka pemilihan umum tahun 2024.
KIKA menyoroti pentingnya menjaga netralitas dan imparsialitas institusi pendidikan, mengingat peran pentingnya dalam pembentukan generasi muda yang objektif. Koordinator KIKA, Satria Unggul, menekankan bahwa kampus dan lembaga pendidikan harus terhindar dari agenda politik praktis. Ia mengkhawatirkan bukan hanya penggunaan fasilitas pendidikan yang dapat menjadi masalah, tetapi juga potensi terjadinya transaksi politik antara politisi dan pimpinan perguruan tinggi.
Satria menggambarkan skenario di mana pemimpin perguruan tinggi menerima imbalan politik, seperti posisi publik, sebagai imbalan atas fasilitas yang mereka sediakan selama kampanye. Menurutnya, Putusan MK ini akan menguji konsep otonomi perguruan tinggi dan kemampuan mereka untuk mengembangkan ilmu secara objektif.
Putusan MK yang menjadi perhatian adalah putusan perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang mengubah ketentuan Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebelumnya, pasal ini melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk kampanye politik. Namun, MK menambahkan pengecualian untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dengan izin dari penanggung jawabnya.
Satria dan beberapa pihak lainnya berpendapat bahwa hal ini akan membuka peluang bagi politisi untuk menggunakan fasilitas pendidikan dalam kampanye mereka. Selain itu, perbedaan perlakuan antara tempat ibadah yang tetap dilarang untuk kampanye dan tempat pendidikan yang diizinkan, seperti yang diatur dalam putusan, dianggap sebagai inkonsistensi dalam pengaturan.
Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang mempelajari putusan MK ini dan berencana memberikan masukan mengenai pembatasan kampanye di fasilitas pendidikan. Mereka berharap dapat menetapkan pedoman dan aturan yang akan mengatur penggunaan fasilitas pendidikan selama kampanye politik sehingga prosesnya tetap netral dan tidak mengganggu pendidikan.
Namun, peneliti dan pengamat pemilu juga mengkhawatirkan implikasi dari putusan ini terhadap netralitas institusi pendidikan. Mereka berharap bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan mengatur dengan cermat penggunaan fasilitas pendidikan dan tempat ibadah selama kampanye politik untuk memastikan perlakuan yang adil dan netral bagi semua peserta pemilu.
Para ahli hukum juga mendesak untuk memperkuat pengawasan dan menghindari potensi politisasi institusi pendidikan. Mereka berpendapat bahwa tempat pendidikan harus tetap menjadi ruang netral yang tidak terlibat dalam persaingan politik elektoral.
Kesimpulannya, putusan MK ini telah memunculkan perdebatan tentang batasan penggunaan fasilitas pendidikan selama kampanye politik dan tantangan untuk menjaga netralitas institusi pendidikan dalam proses demokrasi.