Pendidikan Sebagai Peluang Terang di Tengah Kekerasan Terhadap Anak
Sebuah kalimat bijak dari Mary McCarthy pada tahun 1961, “DALAM kekerasan, kita akan melupakan siapa diri kita,” kini membawa kita pada refleksi mendalam tentang peran pendidikan dalam mencegah kekerasan terhadap anak. Dalam sorotan berita yang semakin marak tentang tindakan kekerasan terhadap anak-anak, kita harus bertanya pada diri sendiri apa yang salah dengan masyarakat kita.
Kasus tragis penganiayaan anak di Malang, Jawa Timur, oleh seorang ibu dan teman lelakinya, serta kasus seorang ibu pengamen yang memukul leher anaknya, hanya merupakan beberapa contoh kejahatan yang menyayat hati. Bahkan yang lebih mengerikan adalah kasus penganiayaan dan pembunuhan seorang anak oleh ibu dan ayah tirinya hanya karena sang anak lambat bicara. Semua ini memicu pertanyaan yang mendalam: bagaimana bisa orangtua melupakan diri mereka sendiri dan melakukan tindakan keji seperti ini?
Pendidikan muncul sebagai satu-satunya harapan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Namun, kita tidak bisa meremehkan fakta bahwa kondisi pendidikan saat ini juga memerlukan perbaikan dalam menangani isu kekerasan. Harus diakui dengan jujur bahwa rumah dan sekolah tidak selalu menjadi tempat yang aman bagi anak-anak kita. Kita perlu menjadikan sekolah sebagai lingkungan yang bebas dari kekerasan, tempat anak-anak diberi nilai-nilai yang menolak kekerasan.
Mengubah impian ini menjadi kenyataan bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan usaha yang berkelanjutan, komitmen yang kuat, dan refleksi mendalam untuk menjadikan pendidikan sebagai lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan. Ini adalah tugas yang telah diambil oleh Sekolah Sukma Bangsa (SSB) di Aceh.
Di tengah sejarah panjang kekerasan di Aceh, tiga SSB didirikan dengan tujuan membantu anak-anak yang menjadi korban tsunami dan konflik. Mereka mengambil peluang ini dengan membangun sistem Manajemen Konflik Berbasis Sekolah (MKBS) yang inovatif. Para ahli dalam bidang resolusi konflik dan pendidikan perdamaian diajak untuk merancang dan mengelola kebijakan ini.
MKBS bukanlah program yang mudah. Prosesnya panjang, dan tantangan datang dalam berbagai bentuk. Namun, keyakinan bahwa tindakan ini benar dan akan memberikan hasil positif di akhir jalan memotivasi para pendidik di SSB Aceh. Mereka juga telah memulai program “Kelas MKBS” yang mengajak siswa untuk berdiskusi tentang pendidikan perdamaian.
Guru memiliki peran kunci dalam menciptakan pendidikan yang bebas dari kekerasan. Oleh karena itu, persiapan guru adalah langkah utama yang harus diambil oleh sekolah. Dengan mengadopsi budaya refleksi dalam setiap aspek pembelajaran dan kegiatan sehari-hari, mereka memastikan bahwa pendidikan perdamaian tidak hanya menjadi kata-kata kosong, melainkan menjadi kenyataan yang berkelanjutan.
Di SSB Aceh, kegiatan refleksi seperti “Morning’s Reflection” menjadi bagian penting dari pendekatan mereka. Para pendidik menjalani pelatihan khusus untuk melakukan refleksi secara teratur, dan ini membantu mereka dalam mendukung pendidikan bebas kekerasan.
Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa dalam sejarah manusia, kekerasan tidak pernah menghasilkan hal baik. Pendidikan adalah satu-satunya harapan kita, dan kami harus siap untuk menjadikannya tempat yang tidak hanya aman, tetapi juga mampu menciptakan generasi masa depan yang penuh kasih dan perdamaian.