Digitalisasi Mendominasi Pendidikan Perguruan Tinggi Menurut Kemendikbudristek
Perkembangan digitalisasi dalam pendidikan perguruan tinggi menjadi tren tak terhindarkan, terutama setelah pengalaman pandemi Covid-19 yang memaksa peningkatan pembelajaran daring. Kemendikbudristek, Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi, berambisi untuk mendorong pembelajaran online mencapai 60% pada tahun 2045.
Rektor Universitas Yarsi Jakarta, Prof. dr. Fasli Jalal, Sp.GK., Ph.D, merespons positif rencana tersebut. Saat ini, partisipasi pendidikan tinggi baru mencapai 40%, padahal target seharusnya mencapai 60%. “Kami akan berupaya keras untuk mencapainya dengan membuka program studi baru dan memberikan fleksibilitas belajar dengan pendekatan hybrid. Mahasiswa tidak perlu lagi hadir di kampus,” kata Fasli Jalal usai upacara wisuda di kampus Yarsi Jakarta.
Fasli Jalal menekankan bahwa pembelajaran online tetap dihitung sebagai beban studi kredit semester (SKS). Ini berarti bahwa mata kuliah daring juga akan memberikan SKS kepada mahasiswa. “Kami dapat mengakui pengalaman mahasiswa yang bekerja, magang, mengikuti kursus, atau pelatihan sebagai bagian dari perkuliahan mereka. Semua itu akan dihitung sebagai SKS,” jelasnya. Namun, aktivitas di luar kampus harus relevan dengan mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa. Dengan pendekatan ini, para mahasiswa yang semula kuliah selama empat tahun dapat menyelesaikannya dalam dua tahun.
Untuk mendukung transformasi ini, Universitas Yarsi telah melengkapi fasilitas dengan smart class room dan smart board yang memfasilitasi pembelajaran online. Selain itu, SKS tetap dipertahankan dengan 144 SKS.
Tugas akhir untuk kelulusan mahasiswa pun bervariasi, termasuk penelitian ilmiah, pembuatan produk, dan lainnya. Saat ini, mahasiswa S2 telah melaksanakan pendekatan ini, sementara mahasiswa S1 sedang dipersiapkan.
Wakil Rektor I Universitas Yarsi, Dr dr Wening Sari M. Kes, menyebut bahwa para dosen sudah mulai melatih untuk menyampaikan materi mata kuliah secara daring dengan mengembangkan pembelajaran sinkronus dan asinkronus. Contohnya adalah mahasiswa prodi Teknologi Informasi yang mengembangkan aplikasi yang merespons polusi manusia. Mereka diberikan 20 SKS untuk proyek ini.
Namun, Prof. dr Pratiwi Pudjilestari Sudarmono SpMK, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, menegaskan bahwa tidak semua mata kuliah dapat digantikan oleh kecerdasan buatan atau diajarkan secara online. “Kemanusiaan tetap dibutuhkan dalam pendidikan. Digitalisasi dalam perkuliahan tetap diperlukan, tetapi tidak pada semua mata kuliah,” ungkapnya.