Pendidikan Kedokteran: Tantangan Feodalisme dan Birokratisme, Perlu Revolusi Demokratik
Sistem pendidikan kedokteran di Indonesia dianggap terbelenggu dalam kerangka feodalisme dan birokratisme, menuntut perlunya revolusi demokratik melalui revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR, Willy Aditya, menyuarakan pendapat ini dalam sebuah dialog publik di Jakarta.
Willy menekankan urgensi revisi tersebut karena kompleksitas masalah yang mendesak dan kronis. Salah satu contohnya adalah Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD) yang dianggap problematik. Meskipun di awal membuka peluang dengan hilarisasi, namun di akhir ada UKMPPD yang dianggap tidak adil.
UKMPPD yang berulang kali dilaksanakan, dengan masa tunggu 3-4 bulan jika tidak lulus, menuntut peserta untuk mengulanginya, memakan waktu bertahun-tahun. Kuota peserta setiap UKMPPD sekitar 5 ribu, dengan hanya sekitar 1.500 yang dinyatakan lulus.
Willy menyampaikan bahwa setiap kali UKMPPD, sekitar 3.500 peserta calon dokter tidak berhasil dan tidak mendapatkan gelar dokter karena belum memperoleh sertifikat profesi dan kompetensi. Masalah distribusi dokter, terutama di daerah, juga masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Pembukaan fakultas kedokteran di daerah dianggap sebagai solusi untuk mewujudkan pemerataan kesempatan belajar dan distribusi dokter. Dr. Ganis Irawan dari Inisiatif Indonesia Sehat menanggapi dengan menyebut bahwa pemerataan pendidikan kedokteran bagi anak bangsa harus menjadi perhatian pemerintah, terutama untuk meningkatkan jumlah dokter spesialis.
“Masih banyak anak bangsa yang memiliki cita-cita serta kemampuan di bidang kedokteran namun harus pupus atau terkendala biaya yang sangat besar,” ujar dr. Ganis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pendidikan tinggi di bidang kesehatan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan upaya kesehatan dan dinamika kesempatan kerja, baik di dalam maupun di luar negeri.