Berita Kebudayaan

Berkarya dan Bersejarah: Masjid Laweyan, Monumen Dakwah Kultural di Solo

Kisah sejarah yang mengilhami dan melegenda selalu menyimpan keunikan dan kearifan tersendiri. Begitu pula dengan Masjid Ki Ageng Henis, atau lebih dikenal sebagai Masjid Laweyan, yang menjadi saksi bisu keberhasilan dakwah kultural Islam di Solo sejak ratusan tahun lalu.

Meski tak mencolok seperti masjid-masjid mewah lainnya di Solo, Masjid Laweyan menunjukkan kebesaran dalam kesederhanaannya. Berlokasi di tepi Kali Jenes, Kampung Belukan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Solo, masjid ini menyimpan jejak dakwah Islam sejak 4,5 abad lalu.

Menurut Humas Takmir Masjid Laweyan, Trian Widiananto, masjid ini dibangun oleh Ki Ageng Henis, utusan Kerajaan Demak pada tahun 1546. Ki Ageng Henis, yang juga merupakan keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V, ditempatkan di Laweyan sebagai penasihat spiritual Sultan Hadiwijaya.

Kisah persahabatan antara Ki Ageng Henis dengan Ki Ageng Beluk, pemuka Agama Hindu saat itu, menjadi legenda tersendiri. Ki Ageng Beluk dan pengikutnya kemudian memeluk Islam, dan tanah pura mereka diwakafkan untuk dibangun masjid.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menjelaskan bahwa kisah ini banyak ditemukan dalam teks-teks kuno seperti Babat Pajang dan Babat Tanah Jawi. Kedua tokoh ini juga sering disebut dalam Serat Centhini.

Kehadiran Masjid Laweyan sebagai pusat dakwah di tengah jalur perdagangan yang ramai di sepanjang Kali Jenes menjadi bukti nyata keberhasilan dakwah Ki Ageng Henis. Dukungan Keraton Pajang menjadikan Ki Ageng Henis memiliki legitimasi politik yang kuat dalam menyebarkan ajaran Islam di Laweyan.

Masjid Laweyan, dengan segala keunikannya, tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Islam di Solo yang patut diapresiasi dan dilestarikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *